DAHLIA RASYAD

DAHLIA RASYAD

Kamis, 04 September 2008

Bedah Pustaka


Judul Novel : Buntung
Karya : Wijaya, T
Tebal : viii + 159 hlm; 14 x 21 cm
Penerbit : Pustaka Melayu
Tahun Terbit : 2007
Kota Terbit : Palembang


Buntung:

Ancaman Budaya Paternalistik dan Feodalistik


Karakter tokoh yang dibangun sangat ‘labil’, perilaku manusia tergambar sangat ‘buas’ dan amoral. Apakah ini merupakan kesimpulan penulis dari premis-premis realitas sosial dan sejarah terhadap budaya? Apakah ini yang hendak dikatakan penulis terhadap mental-mental pemimpin bangsa kita saat ini?


Novel T. Wijaya yang kedua Buntung setelah Juaro (Pustaka Melayu, 2005) merupakan novel Trilogi pertamanya yang mengambil realitas sosial kaum marjinal; pengemis, pengamen, preman, pelacur, pencopet, mucikari, bandar ganja, dan sebagainya. Novel yang menekankan phenomena watak budaya ini, sekilas mengabaikan unsur methaporis; pelukisan ditunjukan dari karakterisasi tokoh-tokoh (kebiasaan, adat-istiadat, perilaku, dan pandangan-pandangan hidup) melalui narasi yang cenderung memberikan informasi, semacam narasi investigasi yang sangat akrab di dunia pers. Namun sebenarnya realitas sosial dan karakterisasi tokoh-tokoh inilah yang menjadi metaphoris budaya dari sebagian besar masyarakat kita terkini, setidaknya bagi T.Wijaya.


Kerangka cerita yang dipaparkan T.Wijaya melalui gaya kronologi ini merupakan suatu bentuk dialektika moral dan budaya. Keberanian T.Wijaya dalam memprediksikan masa depan budaya Palembang merupakan hasil struktur kesepahaman akan kelemahan yang dimiliki sistem paternalistik; bagaimana seorang yang bermental bandit menjadi raja hanya karena latar belakang keturunan (tanpa campuran darah dari bangsa-bangsa lain), bagaimana budaya semacam itu membuahkan dendam kusumat leluhur yang mengorbankan anak cucu sebagai imbasnya, dan tatanan budaya/kebiasaan masyarakat yang sangat represif, dangkal, dan (menurut penulis) irasional.


Jika Juaro merupakan metapor dari pembodohan yang dilakukan pemerintah otoriter dalam membungkam pure demokrasi dan Hak Azasi, yang jelas akan mengembalikan ingatan kita pada kekejaman rezim Orde Baru Soeharto, maka novel riset historis yang nyaris terlepas dari unsur imajis ini merupakan konflik sosial budaya (berlatar sejarah) yang berkepanjangan dan tak pernah selesai. Segala bentuk indoktrinasi, demistifikasi rasio, dan manifesto, merupakan cerminan rezim otoriter yang membelenggu rakyat sekaligus mewariskan isme tersebut kepada rakyat. Kemarahan T.Wijaya dalam mengaspirasikan pendapat dan rasa ‘tak terima’ atas perlakuan yang diberikan pemerintah atas rakyatnya (feodalisme) membentuk liberalisme berideologi dengan segala tindakan reformasinya. Dari liberalisme semacam itulah novel ini lahir sekaligus sebagai cara penulis ‘curhat’ atas kecemasan dan ketakutannya dalam menghadapi realitas budaya kelak yang mengacu pada masa depan negara secara de facto maupun de yure.


Pada “Kronologi Palembang” (hal 1-6), dua item terakhir yang tersurat menjadi sebuah kesimpulan dari semua phenomena yang ditawarkan T.Wijaya dalam novelnya, sekaligus mengajak pembaca terlibat secara ideologis (beserta aksiologis atau non aksiologis) memandang kerangka-kerangka rawan dalam sebuah sistem nasionalisme. Hal ini menggelitik daya analitik futuristik kita, dimana penulis meramalkan bagaimana nasib bangsa ini jika terus memegang cara pandang monumental dan lips-lips political yang terjadi di setiap rezim pemerintahan. Konsep berpikir kepaternalistikan tak ubahnya sebuah pandangan mistis yang mengambil dalih gnosis. Kerangka hirarki berpikir seperti ini muncul dalam masyarakat sisa feodal sebagai simbolisasi bagi kaum tertindas, terlepas dari angket-angket potensial dari seorang pemimpin itu sendiri, karena hanya semata dipandang dari perilaku visioner dan garis keturunannya. Bagi penulis, dalam situasi politik seperti sekarang ini, perilaku visioner hanyalah perilaku syntetik yang memanipulasi kacamata rakyat, sedangkan garis keturunan sama sekali bukan panduan dalam mempelajari psykis seorang khalifah. Bukankah telah banyak kondisi politik yang dikemas atas kepentingan kebenaran pribadi menjadi kebenaran umum? Gradual kebenaran dalam sistem paternalistik hanyalah suatu kebenaran sendiri (individu) yang menjadi kebenaran umum karena sudah memperoleh legitimasi dari masyarakat. Dan itu akan menjerumuskan masyarakat pada tatanan yang lebih luas, fatalnya, mengakibatkan bangsa semakin terperosok dalam kemelut permasalahan; kemiskinan, peperangan, dan kelemahan dalam kancah politik dunia. Namun upaya penulis merumuskan sebuah kehancuran negara atas kepaternalistikan itu sendiri menimbulkan pertanyaan yang bervalensi sama, apakah pemikirannya merupakan gradual kebenaran sendiri, gradual kebenaran umum, atau memang kebenaran yang benar, yang dilihat dari paradigma keilmuan maupun dogmatis?



Namun bagi sebagian pembaca, ini mungkin mampu dikaprahkan sebagai dongeng belaka; ketika apa yang diramalkan penulis terhadap masa depan Indonesia itu sama sekali tidak terbukti, juga ketika upaya penulis dalam tendensi tema menggunakan gaya adventural yang didominasi dalam cerita-cerita heroik yang penuh ilusi. Prediksi tentang hujan badai sendiri hanyalah ‘alat’ pelengkap kejadian yang ingin diungkapkan penulis selain bersifat “alami” (tidak mengganggu stabilitas nasional). Potongan terakhir dari kronologi palembang diatas nyaris sebuah tindakan penyelamatan terhadap fakta sejarah yang sebelumnya telah dideskripsikan atau bisa jadi sebagai aksi pembuktian akan asumsi sehingga menjadi alibi yang mendasar. Pensejajaran fakta konkret dengan fakta abstrak ini membuat apa yang sudah diramalkan penulis (fakta abstrak) menjadi sebuah kebenaran yang mampu dibuktikan. Sebaliknya, bisa jadi metode pengkisahan dengan kesimpulan-kesimpulan ini merupakan upaya dalam memfiktifkan cerita mengingat Buntung berlabel novel. Menurut hemat saya, penulis menyadari bahwa apa yang ditulisnya (item terakhir dalam kronologi Palembang) merupakan karangan belaka, dalam upaya membuat corong masuk ke tema cerita atau apa yang sebenarnya ingin penulis sampaikan dari pemikiran-pemikirannya.


Dalam “Pengakuan Saya” (hal 9-13), tampak penulis berada pada oposisi ganjil masyarakat yang diawali dari gradasi pola pemikiran yang begitu julang diferensial dalam kekolektivitasan masyarakat, sebagai hasil kekecewaan yang berbuntut ke’kapok’an terhadap hal-hal yang berkembang secara sporadis di dalam tatanan masyarakat dalam bentuk behavior dehumanize yang bagi T.Wijaya merupakan paksaan, tekanan, bahkan pemborgolan atas ekspresi dan kreasi. Pandangan-pandangan atas pola kemasyarakatan semacam itu memberanikan T.Wijaya untuk mencap masyarakatnya sebagai masyarakat yang tidak rasional (dalam lingkup to do for living; konsep jalan pintas mencapai kemakmuran). Dan harta karun (peninggalan sejarah) menjadi sasaran yang paling tematis dan kritis untuk mendukung apa yang telah disimpulkan penulis atas akibat dari adanya paternalistik beserta feodalismenya (Baca Bab III Telapak Kaki Ikan Asin), sehingga secara analogis Sukma nyaris alter ego penulis yang dilekati jiwa modernis terhadap fundalisme bangsa dan negara yang berintegritas (sejarah, budaya, pemerintahan, konstitusi, dan rakyat) dengan dalil fakta sejarah etnis. Kerasisan pun mampu menjadi praduga ketika Sukma berhadapan dengan situasi real bangsa sebagai ‘keterjebakan’ penulis atas konsep budaya (paternalistik) dan kondisi masyarakat yang ‘irasional’ itu.


Konsep kerakyatan dan sosial yang ditekankan T.Wijaya dalam novelnya secara langsung mengaitkan kita pada stigma-stigma marxisme, proletar, atau marhaenisme yang kini dianggap haram karena tidak dipandang dari sudut transendental, sehingga setiap pembicaraan kerakyatan dan sosial dianggap sebagai kambinghitam aliran kiri (marxisme). Membicarakan kerakyatan (proletariat) dan sosial adalah hal yang umum (murni bertujuan untuk kesejahteraan rakyat) sedangkan membicarakan paham-paham tersebut merupakan hal yang spesifik (tujuan-tujuan individu yang memperalat konsep kerakyatan). Pertanyaannya, apakah novel yang disesaki dengan pandangan-pandangan sejarah dan budaya yang berorientasi pada kerakyatan dan sosial ini merupakan aksiologi dari hal yang spesifik itu? Apakah ini hanya anak dari induk semacam itu?


Leluhur Palembang diriwayatkan berasal dari Kerajaan Rau—India, diketemukan oleh Atung Bungsu (pelayaran II) yang beragama Hindu. Penduduk yang telah mendiami Fo-shih (Palembang) dan sekitar gunung Dempo adalah kaum Xinjiang (Tiongkok) yang meyakini Budha serta animismenya. Dari keyakinan Atung Bungsu, lahirlah Dapunta Hyang sebagai pendiri Kerajaan Sriwijaya yang lahir dari kaki gunung Dempo dan berprajuritkan suku (Besemah) yang hidup di sekitar gunung itu pula. Ia memilih Budha (mayoritas) untuk memperkuat kekuatannya (prajurit Tionghoa) kemudian memusnahkan Kerajaan Kanglia—satu-satunya kerajaan Hindu di gunung Dempo. Dendam antara Hindu (perompak Gagakata) dan Budha (Dapunta Hyang) pun tersurat hingga Segentar Bumi—keturunan kaum Gagakata yang dengan ilmu hitamnya mendikte Mahmud adalah turunan Kumara Sukma—adik bungsu Dapunta Hyang. Dalam kepemimpinan yang dimentali balas dendam di masanya ini merupakan phenomena ekstrim terhadap blok suku, agama, dan keturunan. Palembang pun oleh T.Wijaya diramalkan hancur akibat dendam leluhur yang dilakukan oleh salah satu cucu keturunan Raja yang dibuang karena berdarah campuran. Satu kecemasan pun menghantui ketika lahir seorang keturunan Raja yang berahlak bandit menguasai sebuah wilayah (negara). Kecemasan-kecemasan seperti itu menjadi kuat ketika di sepanjang pemerintahan tak ada satu pemimpin pun berhasil mengatasi permasalahan kerakyatan; kemiskinan, pengangguran, kesehatan, dan kesejahteraan, bahkan negara semakin didera hutang dan wajah politik semakin muram. Untuk menyelamatkan permasalahan rakyat itu, novel ini menawarkan seruan untuk perlu terlebih dahulu memperbaiki tatanan budaya yang selama ini membelenggu masyarakat sisa feodal seperti Indonesia sebelum membicarakan nasionalisme.


Terlebih ketika di zaman penjajahan Belanda, terjadi politik perpecahan ( sebagian keturunan melepaskan posisi di Kerajaan) yang kemudian menjadi konflik keluarga. Pecahan-pecahan itu memiliki falsafah hidup sendiri-sendiri; ada yang menganggap gelar kebangsaan bukanlah bukti kecerdasan dan kemuliaan dan ada pula yang justru dirundung konflik warisan dan permusuhan keluarga karena menganggap harta adalah kebahagiaan dan kehormatan. Tertanamnya akan definisi harta di sebagian pecahan ditujukan penulis pada sistem dan lingkungan pendidikan di sekolah milik Belanda beserta kolonialismenya. Menanamkan pemikiran pada anak-anak bumiputera untuk menjadi penjajah harta orangtuanya. Feodalisme ini menyebabkan pecahnya integritas Palembang (baik rakyatnya maupun wilayahnya) dimana harta menjadi ancaman dari dalam (perang saudara) dan dari luar (adanya konsekuensi sejarah atas hukum rampasan harta pada keadaan perang).


Penuangan perspektif dalam lakon Sukma sebagai keturunan terakhir dari Dapunta Hyang melukiskan bagaimana masyarakat memandang Sukma sebagai ‘manusia terpilih’ atas kecamuk problematika Indonesia. Sukma yang lahir dari orangtua (Mahmud dan Siti Aisyah) yang memiliki latar belakang suram, gelandangan, penuh dengan amoralisme, minim edukasi, dan dangkal pemikiran, diyakini memiliki kekuatan gaib tentang penglihatan akan harta peninggalan raja yang dipercayai terkubur berabad-abad lamanya. Disinilah petualangan yang penuh dengan nilai-nilai filosofis ditemukan. Harta karun (peninggalan sejarah) yang kemudian hendak dijadikan aset untuk melunasi hutang negara beserta angan-angan menjadikan bangsa kembali besar seperti zaman kerajaan dan Kesultanan dahulu, diprediksikan sebagai awal kemakmuran bangsa. Penjualan sejarah yang menjadi jalan pintas ini merupakan potret ‘bangkrut’nya bangsa yang disebabkan karena kemiskinan (baik mental kepemimpinan maupun properti kenegaraan). Dan novel ini berhasil ‘menyelamatkan aset sejarah’ dalam tendensinya merumuskan cerita, dimana tidak ada satu pemimpin pun dalam beberapa pergantian pemerintahan menemukan harta itu bahkan hanya menimbulkan konflik sosial dan politik yang semakin mencekam. Disinilah saatnya penulis berani menyatakan kehancuran Palembang, upaya-upaya diskriminasi, dan separatis terjadi pada beberapa ibukota Indonesia. Namun, Palembang kemudian berdiri kembali oleh Che Bala—seorang pengusaha bermental bandit beserta pelekatan pola kepemimpinannya seperti kisah epik Bhagawat Gita, dan politisi-politisi kudeta, sebagai upaya pembuktian bahwa masih berlangsungnya tatanan budaya semacam itu tanpa ada kata ‘selesai’.


Pada cuplikan terakhir “Telapak Kaki di Mulut Saya”, tokoh saya merupakan tokoh lain yang sama sekali tidak mengetahui apa-apa (lugu) tentang sejarah keturunan Raja. Tokoh saya ini bertindak sebagai garis keturunan Raja (pemimpin) yang diketemukan (oleh Che Bala) untuk mengulangi polemik Sukma kembali (membangun Indonesia dibawah pertumpahan darah sesama saudara, menghidupkan dendam, dan mengadakan gejala perang dunia), namun tokoh saya ini justru memilih ‘berlari’ sebagai usaha sadar akan mental kepemimpinannya.


Saya tidak butuh sebuah negara. Saya tidak butuh sebuah sejarah kekuasaan. Saya tidak butuh sebuah penghargaan. Saya hanya butuh masa lalu, buat memperbaiki kegagalan berkeluarga. Saya butuh sebuah keluarga di sebuah taman yang sejuk, dan wangi.” (Buntung, 151)


Dalil sejarah dan kepeloporan pemersatu bangsa yang berasal dari pandangan seorang bandit (Che Bala) mengabsahkan pilihan pemimpin atas dasar keturunan meski pemimpin yang dipilih ternyata juga bermental bandit. Begitulah seterusnya, tak ada yang selesai.


Tidak ada komentar: