DAHLIA RASYAD

DAHLIA RASYAD

Minggu, 28 Desember 2008

Esai Kebahasaan

ETNOLOGI BAHASA

DALAM KEMAJEMUKAN INDONESIA


Mari kita mulai membuka peta, meraba relief-relief dan menghitung titik-titik bernoda.

Haruskah kita memotong-motong sepenggal kue seiring gema musik ulang tahun?

Atau, hanya membiarkan lilin padam di atas coklat manisnya”

Bahasa Indonesia sebagai karunia sejarah: Berkah ataukah kutukan?


PERANAN Bahasa Melayu sebagai lingua franca, bahasa perhubungan dan perdagangan, telah berhasil menjadi sarana pembentukan (pemilihan) bahasa di Indonesia yang kini disebut “bahasa Indonesia”. Selalu muncul problematisasi sehingga pertumbuhan dan perkembangannya menjadi jauh berbeda dari bahasa ibunya, Bahasa Melayu. Proyek-proyek standardisasi, modernisasi, melalui Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (P3B) telah meluncurkan Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan (EYD), Pedoman Umum pembentukan Istilah (PUPI), Tata Bahasa Indonesia Baku (TBIB), maupun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sehingga membuatnya menjadi suatu kestabilan gramatikal yang terasa terlalu ‘tegang’.


Melalui sloganistis ‘bahasa Indonesia yang baik dan benar’ (setelah dibina dan dikembangkan) yang secara harfiah memberi kesan bahwa bahasa sehari-hari bukanlah bahasa yang ‘baik dan benar’, yang justru sebenarnya slogan itu menjadi tidak mampu dihayati dengan “baik dan benar’ oleh bangsanya sendiri. Konstruksi-konstruksi dan kodifikasinya membuat referen yang dihasilkan seperti gerak estetis ‘robot’ sehingga bahasa mampu difungsikan layaknya ‘mesin’, yang menurut sejarah, menjadi peluang dramatis bagi rezim Orde Baru untuk mendemistifikasi rasio rakyat melalui indoktrinasi-indoktrinasi, maka terciptalah rekayasa bahasa serta misi-misi politis lainnya meski secara intuitif mampu dipahami dan bernilai norma.


Adanya penyusunan Pedoman EYD, Tata Bahasa Baku, dan Kamus Besar Indonesia yang dengan didaktis dilakukan oleh Pusat Bahasa sebagai lembaga pro Pemerintah (mendukung program pembangunan yang industrial dan ekonomis) untuk menangani masalah bahasa, dirasa memperkukuh kedudukan bahasa Indonesia sebagai suatu yang ‘lain’ dari bahasa-bahasa penyokongnya. Namun harus tetap diakui, inilah berkah bahwa bahasa Melayulah yang lebih memberikan kontribusi kekayaan bahasa di Indonesia (mengindonesiakan bahasa Melayu), bukan sebaliknya.


Pada masa kolonial, bangsa Portugis dan Belanda kesulitan dalam menerapkan bahasa Barat-nya di sekolah-sekolah yang mereka dirikan di Indonesia karena Bahasa Melayu sudah terlanjur melekat pada bumiputera. Pengakuan Danckaerts (1631) menyatakan bahwa kebanyakan sekolah di Maluku (contohnya) memakai bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Puncaknya, keluarlah SK dari Pemerintah Kolonial dengan nomor K.B. 1871 No. 104 yang menyatakan “bahwa pengajaran di sekolah-sekolah bumiputera diberi dalam bahasa daerah, jika tidak dipakai bahasa Melayu” (Keraf, 1982).


Namun bahasa memang hal yang kontinuitif dan berskala. Paling tidak, Eropa (tuan penjajah) dengan bahasanya melalui sekolah-sekolah bergaya ‘barat’ menjadi literasi pertama dalam transisi budaya bagi bumiputera yang sempat mengeyam pendidikan di sekolah tersebut yang demikian beruntungnya bagi Indonesia hal itu justru menumbuhkan sikap setia dan Nasionalisme yang tinggi terhadap Tanah Air hingga “semua yang lain, perempuan, bahasa, dan agama, adalah instrumental terhadap kesatuan atau tepatnya cita-cita akan adanya kesatuan” (Dhakidae, 2003).


Dengan sendirinya, bahasa Melayu terpilih sebagai ‘bahasa kini’ (dimasanya) sebelum akhirnya lahir pergerakan kebangsaan yang mencatat perdebatan-perdebatan resmi dan sengit dalam Kongres Pemuda I (1926: Pengakuan suatu bahasa Daerah sebagai media penghubung semua pemuda-pemudi Indonesia dan memilih bahasa Melayu sebagai bahasa pengantara sekaligus Persatuan) dan II (1928) yang akhirnya melahirkan Soempah Poemuda meski dengan gelitik geli secara keseluruhan (media-media, para pejuang dan hasrat ini) masih menggunakan bahasa Londo (Keraf, 1970). Mulailah bahasa mewahanai kebudayaan-kebudayaan baru yang masuk. Masa dari masa berganti, sedangkan bahasa terus menjadi urusan yang problematis. Era kolonial pun segera hendak diganti dan dimusnahkan habis-habisan untuk menampilkan kreasi-kreasi baru yang menjanjikan kegemilangan. Namun, ‘kebaruan’ itu bukan barang ‘sulapan’ yang tanpa disesaki dengan pandangan-pandangan dan pertimbangan-pertimbangan, yang tidak sepenuhnya terlepas dari pengaruh indoktrinasi Barat. Sesungguhnya, dibalik watak visioner dan misionaris jiwa pembaru, “dalam struktur, konsep kebijaksanaan, dan ideologi merupakan fotokopi dari negara-negara kolonial, hanya saja para penguasanya berganti warna kulit” (Onghokham, 1994).


Dengan sistem sentralisasi maupun desentralisasi, Indonesia jelas sebuah sistem organik yang mengkerucutkan kevitalan pada satu wilayah. Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila lahir sebagai simbol kebangsaan yang menginginkan kepatuhan terhadap ketunggalan agar tercipta kondisi yang tertib dan terkontrol. Inilah resikonya ketika sebuah negara dikarunia keberagaman yang menuntut pemerintah untuk lebih bekerja keras membentuk keseragaman. Isme-isme persatuan dan kesatuan pun ditanamkan pada rakyatnya termasuk dalam bidang bahasa. Dengan begitu getirnya para linguis oposisi (dalam badan pemerintah), bahasa Indonesia yang dikonsep sebagai bahasa Persatuan, mulai menggeliatkan ikat pinggangnya melalui konstruksi gramatika, kodifikasi dan deskripsi struktural tersebut, yang bagi saya masih tetap berbau feodal, telah membentuk bahasa Indonesia menjadi ‘bahasa hormat’, steril, ilmiah, yang berpihak pada akar-akar feodalisme yang diwariskan pemerintahan kolonial Orde Baru sehingga akibatnya, pernah, bahasa daerah pun ditimbang semata ‘kekayaan’ yang dikubur dalam brankas kemerdekaan, sebagai peninggalan sejarah yang belum pantas dikedepankan.


Dalam kritik ideologis, kaidah-kaidah dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (saat itu masih Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa yang dikepalai oleh Anton M. Moeliono) dinilai merupakan sebuah upaya peng-represif-an sebagai “mekanisme pemaksaan terhadap masyarakat untuk menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan yang justru (belum tentu) ‘dihidupi’ dan ‘menghidupi’ masyarakat Indonesia” (Supriyanto, 1999). Karenanya, masyarakat kehilangan media yang sesuai, yang akhirnya terjadi disorientasi pemaknaan terhadap realitas. Maka bahasa Persatuan disini, selain mampu memposisikan bahasa daerah secara perifer, juga paling berpeluang kehilangan daya ukur dan daya kritis terhadap realitas bangsanya sendiri.


Sebuah kutukan yang sulit ditangkis sekaligus dilepaskan, memang.


Globalisme: Kebangkitan ataukah kepunahan?


KONSEPSI pluralis bahasa di Indonesia menempatkan pelbagai kosakata-kosakata daerah dalam kerangka khasanah budaya dan aset bangsa. Butuh bangunan optimistik ketika kita disudutkan pada pertanyaan, bagaimana bisa Indonesia mempertahankan kesatuan dalam situasi jamak yang pelik dan penuh polemik ini? Haruskah dengan menyingkirkan budaya lokal (dengan segala pemikirannya) dan membangun budaya ‘bersama’ agar persatuan dapat terlaksana? Jika tidak, apa upaya manunggal yang bisa dilakukan oleh para linguis dan peneliti kebahasaan di Indonesia dalam menjauhkan bahasa daerah dari kepunahan? Apakah itu hanya dijadikan suatu dokumentasi sejarah, artefak budaya yang dimunculkan hanya semata mengenang, atau hanya sekadar pengabdian pada pemerintah yang mendaulat para akademisinya untuk bekerja?


Puncak kerawanan eksistensi bahasa di Indonesia sekarang ini—oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ) bersama PMB (Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan) ialah kepunahan bahasa daerah yang disebabkan karena bencana besar yang kerap melanda Indonesia dan menewaskan ribuan bahkan jutaan penduduk etnisnya. Aprianti (2005) mengatakan bahwa “daerah di Pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi , Maluku, dan Papua merupakan daerah rawan bencana gempa bumi dan tsunami. Hanya beberapa daerah di Pulau Kalimantan yang bebas dari bahaya bencana-bencana tersebut”. Maka, tidak ada yang disalahkan disini ketika kepunahan datang dari bencana alam. Namun sebelumnya, Summer Institute of Linguistics (SIL), sebuah lembaga non-pemerintah yang dinilai lengkap dan relevan dalam meneliti bahasa di seluruh dunia, mencatat bahwa Indonesia (perhitungan terakhir tahun 2003) “berpenduduk 238.452.952 jiwa, tingkat melek huruf 78%-85%, jumlah bahasa 742 diantaranya 707 masih fungsional, 32 terancam punah dan 3 telah punah” (Gordon, ed., 2005) bahkan disinyalir ada 2 bahasa yang lama tidak memiliki penutur asli lagi (Grimes, 2001). Namun, kedudukan bahasa daerah secara genealogis tidaklah sama dengan peristiwa bencana alam yang terjadi secara teritoris. Berarti, tidak hanya aspek wilayah yang menjadi sebab punahnya bahasa daerah.


Salah satu penyebab yang paling mungkin ialah evolusi. Deruan peradaban yang kian merangsek budaya lokal dan nasional. Generasi pengguna bahasa daerah semakin lama semakin tua dan menipis (kematian atau pun tidak sinkronis dalam menurunkan peninggalan keleluhuran dengan keturunannya) sedangkan generasi berikutnya semakin lama semakin muda dan menumpuk. Mereka menginginkan pembaruan dan perubahan yang menandakan diri sebagai saksi zaman sehingga bahasa pun—yang merupakan aspek terhalus sekaligus terumit dalam kehidupan—mengalami pelbagai perubahan, dan bahasa daerah tentunya sebagai alat komunikasi teritorial mikro perlahan ditinggalkan. Lalu apakah watak mengglobal dengan tatanan dunianya yang juga global ini ialah masa kebangkitan yang dipandang bahwa sudah seharusnya diketemukan? Sudah tentu ini merupakan masalah individualistik dimana bahasa dan manusianya, manusia dan kebutuhannya, serta manusia dan dunianya sendiri-sendiri menjadi satu kesatuan yang sulit untuk dirumuskan, meski paling tidak mampu dibayangkan.


Praktik berbahasa seperti code switching (mencampurkan kosakata asing), atau juga menjadikan bahasa Inggris menjadi bahasa sehari-hari, yang tengah melanda kaum metropolite (menengah atas, tak terkecuali menengah bawah) kota, secara sosial (dalam hubungannya dengan psikolinguistika) merupakan sebuah globalisme. Bahasa Melayu tinggi (bukan Melayu Kuno) menjadi ‘bahasa yang keren dan modern’ sekurang-kurangnya tak lepas dari kosakata-kosakata asing yang populer. Jika perubahan tatanan dunia yang terjadi sekarang menghidupkan kebebasan dalam ekonomi, demokratis dalam politik, dan budaya tetap hal yang universalis, maka satu-satunya jalan untuk ‘melek’ tehnologi ialah bahasa asing (terutama Inggris). Dalam kasus intelektualitas, Barat merupakan habitat para ‘Penemu’ yang dalam kesejarahan ‘lebih dulu’ berevolusi, maka bukan suatu keanehan dan bahkan kemutlakan (jalan satu-satunya yang harus ditempuh) jika beberapa aspek vital (dalam jalinan politik dan ekonomi internasional berikut kesusasteraannya) bagi sosial (penduduk di negara masing-masing) menjadi kompas ke dunia kosmos. Pendeknya, munculah bahasa Barat secara sporadis ditunjuk (dikaprahi sebagai pemeradaban dan orientasi Iptek) sebagai sarana lingua franca Internasional yang seharusnya juga dirujuk. Mau tidak mau, dengan perasaan yang saya pun tidak tahu, harus saya akui bahwa Negara Timur yang penuh budaya dan agama seperti Indonesia tak mungkin mampu ‘berhenti’ berkiblat kepada Barat.


Dari globalisme itu pun lagi terdengar praktik berbahasa lainnya yang secara kreatoris membentuk padanan semantis yang ‘ngawur’, semisal bahasa gaul ciptaan Debby Sahertian yang kini lebih saya pandang sebagai sebuah artisme dan stereotipe. Hedonisme semata. Sudah barang tentu menangkup banyak korban paling tidak generasi muda yang masih butuh dikte secara pedagogis dan agamis. Jika pun ini lengah untuk sementara saja (apalagi selamanya), bukan tidak mungkin bahasa (daerah dan Indonesia) menjadi objek pertama yang tampak sebagai simbol kepunahan bangsa yang bukan saja tercermin dari punahnya bahasa daerah tetapi juga retaknya keutuhan sendi-sendi budaya etnis (desa dan kota) dimana telah hilangya kunci filologis terhadap kekayaan intelektual, sejarah, serta pengetahuan-pengetahuan tersembunyi lainnya yang seyognyanya menjadi warisan leluhur tertinggi (mengelola lingkungan, cara bertahan hidup, pengobatan, spiritual, dan lainnya) yang ditularkan secara sinkronis kepada koloni dan secara diakronis kepada keturunan untuk masa depan, kini, dan lampau.


Perikehidupan sekarang yang bisa dikatakan telah menghasilkan para teknokrat-teknokrat muda (terciptanya kemajuan pembangunan yang setaraf dengan negara-negara besar sebagai lokomotif dunia) yang dijuakan sebagai masa kebangkitan tatanan dunia, berdualis dengan kepunahan bangsa tersebut. Namun harus diakui, situasi pluralis semacam Indonesia, selalu terjebak dalam polemik ambiguitas, antara upaya pelestarian dan pembaruan, antara ‘diam’ dan ‘berubah’, dan diantara menunggu sebuah penundaan kepunahan.


Bahasa Daerah: Kekayaan ataukah potensi petaka disintegrasi?


SIL, sebuah organisasi kristen yang didirikan oleh William C. Townsend pada 1934 di Guatemala, telah memerikan secara lengkap total bahasa daerah di Indonesia yaitu lebih dari 740 ragam dengan klasifikasi bahasa keluarganya. Lembaga yang memberi sumbangsih besar ini memang dikhususkan bergerak di bidang pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat melalui bahasa. Dalam cuplikan otoprofil, para linguisnya telah melakukan banyak penelitian dan penerjemahan Alkitab (penyebaran Injil) keseluruh dunia dengan mengadakan pendekatan terhadap penduduk suku (selama puluhan tahun) dan mengadakan fasilitas-fasilitas pengembangan bahasa untuk mencegah kepunahan bahasa dan sukunya. Mereka berfokus pada masalah-masalah seputar kehidupan masyarakat desa seperti belajar menggunakan bahasa lokal, mempelajari struktur fonologi dan gramatikal (tata bahasa); memahami konteks budaya setempat; menangani masalah-masalah pengembangan bahasa, misalnya alfabet, bahan-bahan pendidikan, dan kamus diglot. Sama halnya dengan Lutheran Bible Translator (BLT, berdiri pada 1964) yang juga menerjemahkan Injil ke dalam bahasa-bahasa suku tersebut.


Penelitian SIL terhadap bahasa daerah di Indonesia dinilai lebih lengkap dibanding peneliti oposisi di departemen pemerintah semisal kasus pemerian bahasa daerah (Pusat Bahasa menghasilkan hanya 214 saja yang sebenarnya berjumlah tiga kali lipat dari itu) dan usia proyeknya yang cenderung tidak ‘langgeng’. Kemungkinan hal itu dikarenakan kurangnya pendekatan duratif (sebentar) dengan daerah yang dituju sehingga hasil kerjanya pun hanya hidup ‘sebentar’ pula (yang berarti harus mengadakan penelitian ulang secara massif dan kontinyu). Namun di setiap misi independen (visi khusus) terlebih oleh warga asing selalu memiliki tujuan-tujuan tersembuyi dibalik tujuan ilmu itu sendiri, meski sangkalan ataupun pembungkaman dari agennya secara verbal dan non verbal tidaklah membuktikan.

Perbandingan ekspansi diatas, resmi sebagai gradasi kualitas lembaga dan kinerja peneliti dimana akhirnya Indonesia menjadi negara yang diakui ‘kaya’ akan panoramik bahasa. Namun potensi bergejolaknya gerakan-gerakan separatis kerap membara dan mudah ‘terbakar’ mengingat setiap ekspansi (khususnya dari luar negara) yang dengan kinerjanya membuat kita segan berspekulasi lebih jauh dan bahkan menjadi tidak ‘jeli’, juga petaka-petaka disintegrasi yang dimulai dari luar aspek bahasa (politik, ekonomi, dan adat-istiadat) namun tetap di dalam NKRI yang sudah cukup lama menebar kepiluan. Bagaimana tidak, negara jenis ini jelas positif mengalami masalah kemajemukan yang sulit sekali menyongsong persatuan. Jika pun tidak ada, Nasionalisme dijaga dengan segala paradigma dari entitas stabilitas Nasional yang ada dan menunggu sejauh mana mampu bertahan. Bagaimana mudah, jika diantara yang penting harus diambil salah satu yang penting itu yang acapkali dituntut tidak berpihak atas kepentingan dari yang penting itu sendiri, karena sedikit saja terpeleset, maka Kesatuan dari banyak yang penting itu terperosok dalam jurang perceraian. Dan bagaimana pula sebuah Negara yang merupakan fragmen-fragmen etnis ini mengetahui bahwa penduduknya telah berhasil membunuh separatisme? Sungguh, suatu problematisasi yang tak terdefinisikan.


Ragam bahasa etnis yang positif bercorong diskursus kemudian menjadi diskoneksi, membentuk blokade-blokade kolektif yang menggerakkan penuturnya secara naluri untuk melestarikan khasanah adat dengan sudut pandang ke‘leluhur’an, sedangkan di lain pihak, hidupnya globalisme berarti kemajuan. Jika globalisme adalah asasinasi dan jiwa pelestari adalah resistensi, maka jelas akan terjadi kemelut (antara exist dan exit) yang berpengaruh besar pada stabilitas Nasional NKRI. Namun jika globalisme dipandang sebagai sebuah blokade kolektif ‘baru’ yang universalis dan ke’leluhur’an ialah partikularisme, maka tetap, Indonesia terus berpeluang mengalami inkonsistensi bahasa secara maknawi, yaitu ketika bahasa Persatuan menjadi alat politik dengan dalih Nasionalisme, ketika bahasa menjadi ‘teknologi kekuasaan’ untuk membodohi rakyatnya, ketika bahasa mampu mensyahkan kekerasan dan pelanggaran Hak Azasi Manusia dan sebagainya, meski secara dialektis bisa diselesaikan, namun secara dinamis maju seiring akselerasi sejarah bangsa.


Artinya, segala bentuk kebudayaan dan unsur-unsurnya (ekonomi, politik, ideologi, bahkan agama) selalu memiliki potensi untuk mengalami disintegrasi yang perjalanannya bertransformasi secara berkala. Disinilah, kebudayaan harus dimampukan ‘menghidupi’ dan ‘dihidupi’ masyarakatnya agar dua entitas (budaya bahasa dan watak penuturnya) hidup dengan kepentingannya tanpa mengganggu kepentingan yang lain.


Wacana Duta Bahasa


Sejak tahun 2006 lalu, Pusat Bahasa menyelenggarakan Pemilihan Duta Bahasa Nasional yang pesertanya terdiri dari seorang putra dan seorang putri dari masing-masing Propinsi di Indonesia. Wacana ini, yang bukanlah merupakan suatu proyek (penelitian) kebahasaan tetapi lebih kepada kontestasi, bertujuan untuk menemukan para pemuda-pemudi yang berkompetensi dalam berbahasa Indonesia (terlepas memiliki sikap positif atau tidaknya). Unggulnya, kegiatan ini mampu diikuti oleh pelbagai kalangan (latar belakang pendidikan) yang sangat representatif. Ini membuktikan bahwa ilmu bahasa ialah universalis, menjadi kekayaan pengetahuan diluar bidang keilmuan yang digeluti.


Bermula pada kerangka komunal sebuah perkumpulan para aktifis bahasa (berwawasan luas dan berkompetensi tutur) yang cukup memberi peluang kontribusi dan solusi problema kebahasaan, terjentik sebuah misi yang menurut saya abstrak dan simbolis yang bisa ditemukan pada poin kelima dalam Visi dan Misi Duta Bahasa 2006, berbunyi “Merekomendasikan penyelenggaraan Hari Bahasa di dalam Bulan Bahasa, dengan proporsi satu hari; satu hari wajib bahasa indonesia, satu hari wajib bahasa daerah dan satu hari wajib bahasa asing”. Ini sama halnya dengan Hari Bebas Asap Rokok Sedunia yang nyata-nyata perusahaan rokok sendiri pun tak bisa menghentikan operasional pabrik barang sehari pun. Namun dapat dipahami sebenarnya itu bertendens pada pelestarian bahasa di Indonesia.


Upaya pengefektifitasan proses belajar menghargai bahasa melalui cara ini memang dimungkinkan mampu, namun terasa seakan realisme sangat ‘jauh dan berbeda’ dari realisasi sehingga kita dikembalikan mengkaji tentang apa yang disebut ril dalam menemukan nilai konkrit praktik berbahasa Indonesia, daerah, dan asing selama satu hari penuh meski rangkanya ialah Hari Bahasa. Hal ini lebih saya simpulkan sebagai sebentuk penghargaan yang ‘nekad’ terhadap ketiga elemen bahasa di Indonesia yang secara ekplisit hendak meyakini publik bahwa para Duta Bahasa tersebut tidak meminggirkan bahasa lain selain bahasa Indonesia. Konsep pemikiran ini menurut saya jauh dari ke-nyata-an sebab tidak mampu dipastikan (konsekuensi dan sanksi) secara rasio wujud kegiatannya (aspek wilayah, alokasi waktu, rutinitas, dan pengguna bahasa sendiri) meski secara evidens mampu dipolakan. Sedangkan bahasa itu sendiri akan ‘hidup’ jika tercapainya saling mengerti (padanan semantiknya baik secara morfologi maupun dialektologi) dalam komunikasi antar-personal.


Para ahli bahasa dan peneliti telah cukup menampakan dedikasinya pada Indonesia melalui pelbagai penelitian baik kesarjanaan ataupun bagi pengembangan Iptek di negeri ini. Melalui program ini, para Duta Bahasa sendiri yang tak muskil mampu berorientasi dan berimprovisasi terhadap ragam budaya, cukup membuat saya antusias meyakini bahwa sebenarnya para Duta Bahasa mampu memerankan peranan yang lebih penting dari sekadar berkutat dengan kesalahan dan kebenaran aspek bahasa. Loyalnya dengan beberapa konsep peranan sebagai berikut:


1. Memposisikan diri sebagai rekan kerja peneliti bahasa dengan pula menjadi peneliti muda di satu etnis tertentu yang ada di Propinsi masing-masing.

2. Memposisikan diri sebagai mitra terpercaya daerah dalam mengenalkan adat tradisi dan budaya daerah masing-masing dengan latar kesejarahan secara komprehensif dan edukatif.

3. Sebagai mentor, motivator, dan misioner, dalam melestarikan dan mempublikasikan keleluhuran daerah sehingga mampu merangsang berkembangnya kearifan lokal dan orijinalitas budaya beserta seninya.

4. Memposisikan diri sebagai mitra Pemerintah dan guru Bahasa Indonesia dan Sastra dalam merevitalisasi pendidikan bahasa di sekolah-sekolah.


Poin keempat ini dinilai penting, sebab jutaan generasi yang memiliki kebanggaan dan kecintaan terhadap bahasa nasional dan negaranya akan lahir dari sekolah dan kedudukan guru Bahasa Indonesia dan Sastra-lah yang menentukan tertanamnya kecintaan dan kebanggaan tersebut pada jiwa generasi muda melalui pendekatan secara kontinyu, dan evaluasi baik dari dalam (ilmu) maupun keluar (hubungan sosial) sehingga lebih akurat dan terpercaya (profesional).


Dahlia, Duta Bahasa Sumatera Selatan 2007