DAHLIA RASYAD

DAHLIA RASYAD

Selasa, 09 September 2008

Cerpen



H A K A M I N G U SA N




SUASANA di dalam gedung redup. Tiga mikrofon yang menggantung di langit-langit panggung hidup. Di tengah-tengah panggung itu berdiri seorang laki-laki dengan setelan kaos oblong dan celana jeans biru. Ia disebut-sebut pak Hakam, orang yang tidak biasa berada di sayap kiri atau kanan. Lampu tembak mengarah padanya, ia terlihat sibuk memperbaiki peci dan membetulkan lintingan kumis bauknya yang nyaris menancap ke lubang hidung. Lalu ia mengeluarkan sebuah sapu tangan yang sudah lembab, mengelap-elap leleran ingus yang terus hendak keluar dan, “Srottttt! Srotttt!” gumpalan ingus kental keluar dari lubang hidungnya yang sebesar mulut gua itu. Penonton risih, lelah menunggu.


“Saudara-saudara, apakah kalian sudah makan siang?” kata pak Hakam membuka acara.


“Belummm!!” jawab penonton.


“Kalau begitu kita semuanya lapar dan bersiap-siap kelaparan karena acara ini dijadwalkan dari jam 1 sampai dengan selesai,” katanya.


Semua penonton tak bergeming lalu duduk dengan pose masing-masing.


“Marilah kita mulai acara dengan melempar koinnya, bagaimana, adil?” tawarnya.


“Adilll!!!” teriak penonton.


“Gambar kepala untuk pihak di sebelah kiri saya dan gambar ekor untuk pihak di sebelah kanan saya.”


Dengan satu lemparan dan,


“Kepala!”


Pihak yang tersebut, mengangguk, pertanda pihak ekor harus menunggu.


“Demi hidupnya kesenian dan demi kehidupan seniman, saya, tanpa adanya agitasi dan intervensi apapun, murni menentang pendirian negara diatas negara hanya dengan kekuatan agama. Sebagai landasan humanisme yang universal, saya berani menyebutkan bahwa seni memiliki ruang sendiri tanpa harus dicampuri dengan doktrin-doktrin apapun yang mampu mengancam keberadaannya,” kata si juru bicara kepala mendahului, “bagaimana pak Hakam, apa anda punya komentar?” lanjutnya dengan atribut janggut yang berserabut.


Sang Hakam yang ditanya mulai mencerna, memasang posisi di tengah lalu bersendawa sebelum akhirnya melontar kata, “seni bagi saya, adalah suatu urusan ruh dan jiwa sebagaimana agama juga urusan ruh dan jiwa. Dua blok ini sama-sama diluar urusan dunia, diluar urusan badaniah.”


Tiba-tiba yang sedari tadi menunggu giliran, langsung menyela, “tetapi seni bukanlah agama yang didalamnya terdapat aturan-aturan yang murni, yang bukan didasari oleh tradisi, tidak mampu diombang-ambing budaya apapun, hidup disepanjang peradaban, dan punya sanksi hukum yang jelas. Sedangkan seni itu no rules! Jadi agama tidak bersifat imajis meski kedudukannya berada secara psykis. Lagipula seni punya sebuah paradigma pada urusan dunia dengan adanya politisi-politisi elite kesenian maupun elite kebudayaan, sedangkan agama sama sekali tidak ada tendensi ke arah sana,” tangkisnya.


“Interupsi!” cegat juru bicara kepala. Penonton terkesima.


“Tapi agama menghidupkan seni! Toh saya menegakan agama diluar konteks seni. Saya punya keyakinan yang hanyalah Tuhan yang tahu sebesar apa keyakinan saya. Sedangkan keyakinan saya atas seni, itu hanyalah manusia yang tahu sebesar apa,” katanya, “anda seolah-olah ingin mengklaim bahwa seni adalah tolak ukur iman seseorang. Ini adalah sebuah jebakan! Itulah yang sesungguhnya sebuah politisi!” kerasnya.


Ruangan gaduh. Para penonton yang sedari tadi seperti angin mati tiba-tiba seperti angin ribut. Disusul pula dengan dentuman bedug yang bertalu-talu. Kubu barisan ekor yang berada di sebelah kanan sang Hakam mulai kepanasan. Sedang kubu yang berada di baris kiri, terlihat sedang komat-kamit membacakan mantra penghilang kegugupan alias mabok. Lalu sang Hakam sibuk menenangkan suasana sambil mengelap gumpalan ingus yang tak mau lagi mendekam di lubang hidungnya.


“Tenang saudara-saudara, kita harus mempelajari objek permasalahannya dulu sebelum kita memberi kesimpulan yang sepihak. Bagi saya, seks itu semacam oposisi eksistensial yang memiliki validitas dan truth. Sama halnya dengan agama yang juga memiliki validitas mutlak dan truth yang murni!”


Penonton yang diajak diam, betul-betul terdiam.


“Oposisi yang bagaimana maksud pak Hakam?” tanya kedua kubu yang bertikai, bersamaan.


“Posisi dimana mengambil sebagian masing-masing wilayah dari sirkel seni dan sirkel agama. Kita tidak bisa sepenuhnya menolak seks tetapi juga bukan berarti harus mengagungkan seks diatas segala-galanya!”


“Lalu validitas dan truth untuk kepentingan siapa pak Hakam?” tanya kubu ekor.


“Untuk siapa saja. Bukankah anda punya anak?” tandasnya. Juru bicara ekor terdiam.


“Artinya seksualitas itu humanis,” kata pak Hakam.


Lalu pihak kepala langsung menyela, “seperti yang saya katakan tadi, seni merupakan humanisme universal yang umat manapun baik kafir maupun agamawan berhak memilikinya.”


“Anda memperisaikan humanisme untuk mengabsahkan unsur sundal dalam pornografi. Pandangan anda sendiri sudah tidak universal!” tolak kubu barisan ekor.


“Yang penting seksual adalah humanisme mutlak yang anda sendiri mungkin gigih menikmatinya,” tancap si janggut sekenanya.


“Hahaha…haha,” sontak penonton terbahak-bahak. Suasana riuh. Pak Hakam tak sempat bicara lagi. Kedua kubu melewatinya begitu saja.


“Dalam kasus seksualitas, manusia tidak boleh semata menjunjung humanisme. Dalam artian, harus ada sebuah dehumanisasi yang mengendalikan kepurbaan umat manusia, mengingat kepurbaan itu sendiri tidak geogratif dan begitu strategis,” tampiknya.


Tawa penonton kembali meledak, kali ini pertahanan bagi kubu ekor. Seisi ruangan terpicu dengan berbagai paradigma alasan, dalih, dan alibi untuk menangkis hujatan.


Lalu si ekor melanjutkan uraiannya, “tugas manusia itu bukan hanya menjaga sisi manusiawi tetapi juga mengendalikan kemanusiawian itu sendiri. Dan itu berarti anda secara tak sadar sudah melakukan resistensi terhadap perkembangan peradaban.”


“Termasuk budaya premanisme agamis?” tampik juru bicara kubu kepala.


“Itu sebuah aksi unjuk ketidaksetujuan ketika nilai-nilai moral sudah dikikis oleh unsur-unsur kapitalisme ekonomi, bukan gerakan non mission yang tidak berfundamen sama sekali.”


“Anda bermaksud mengklaim bahwa itu jihad, tetapi tendensinya ke rumus perusakan dan kerugian. Semua orang bisa melihat kalau itu sebuah tiran sosial yang dilakukan oleh elite agama. Anda sudah menggunakan dalih agama untuk mengabsahkan fanatisme anarkis. Kecenderungan anarkisme seperti itu sudah menyalahi konstitusi. Secara otomatis kalian sama dengan ingin mendirikan negara sendiri,” bela kepala lagi.


“Hujatan anda dimainkan oleh analogi prasangka yang menjorok ke fitnah! Kami hanya minta diperkecil, jangan sampai unsur seni menjorok kearah kemaksiatan yang kemudian ke kemiskinan iman. Bangsa kita tidak hanya dicokoli oleh kaum elite kesenian, bukan?”


“Tetapi kebebasan berekpresi di atas negara ini berlaku di negara manapun. Dan itu merupakan suatu fundalisme kesenian yang utuh. Hak Azasi Manusia yang utuh!”


“Liberalisme berkesenian seperti itu sudah dikontaminasi oleh budaya Barat sehingga mereka menjadi kehilangan sensibilitas terhadap diri maupun agamanya. Sebenarnya yang menjadi produk seni Barat bukanlah objeknya tetapi subjeknya sendiri, dalam artian si agent dan actor-lah yang merupakan produk itu sedangkan pornografi sendiri hanyalah konsep pengemasannya belaka!” ketusnya.


“Saya jadi tidak percaya masa depan generasi muda di tangan para seniman!” tambahnya.


“Huhhhh!” seru penonton. Mereka merasakan alternan ego juru bicara dari kubu ekor.


Sang Hakam kembali mengendurkan ketegangan di ruang itu. Menggerak-gerakkan kedua tangannya ke atas seperti sedang mencegah angkutan publik melintas di jalur kereta api.


“Tenang bapak-bapak yang saya hormati. Sebelumnya kita harus membahas terlebih dahulu apa itu seni dan apa itu pornografi. Bagaimana, setuju?”


“Setuju!!!” teriak para sukawan yang sedari tadi menyimak.


Pak Hakam tiba-tiba bersendawa dan kembali mengelap lelehan ingus yang sudah mencair dingin. Lalu tiba-tiba pula dari belakang tirai ruang muncul sebuah poster berukuran raksasa dengan gambar yang sangat oriental dan original alias asli buka-bukaan. Sebuah photo klasik dua pasang insan yang dibingkai dengan ukiran jepara pada zaman neo kolonialisme, digiring memutar bergantian oleh konco-konco beraliran kepala, berjalan seperti sesi pergantian rounde tinju kelas bulu.


Semua penonton dan kubu ekor tak bergeming di buat phenomena itu. Sekadar ingin menunjukan kepastian seni atau memang ‘suka’ memanjakan mata. Entahlah. Sedang si juru bicara kubu ekor langsung memejamkan matanya dengan kedua tangan.


“Maaf apakah ini yang disebut seni? Kenapa tidak manusia benerannya saja yang beraksi di panggung ini. Biar kita tahu seni benerannya?”


Sang Hakam bersendawa lagi lalu mendekatkan mulutnya ke telinga si kubu ekor dan berbisik, “modelnya minta pengaturan MoU terlebih dahulu.”


Si pihak ekor beserta kubunya tersenyum tipis. Dan suasana pun menjadi setengah bising. Sinyal kemenangan atas kejujuran fakta.


“Suruh salah satu seniman saja yang beraksi,” tukasnya.


Pak Hakam menyeringai sembari melihat-lihat penonton sayap kiri.


“Seni yang mengandung aura pornografi sama sekali bukan dihasilkan dari kecerdasan intelektual dan spiritual tetapi hanya dorongan emosional belaka,” lanjut kubu ekor.


“Penciptaan karya seni memiliki sistem kapitalisme sendiri yang melepaskan diri dari keduniawian dan finansial. Kapitalisme seni untuk urusan pornografi merupakan bagian perenungan terhadap ciptaan Tuhan,” tampik kubu kepala.


“Lalu bagaimana dengan ciptaan-Nya yang lain? Secara sosial dan moral, itu justru merupakan upaya mensejajarkan Tuhan dengan kelamin. Sistem kapitalisme seni yang mencoba mencari popularitas dan eksistensi sambil beronani!” hujat kepala kubu ekor sambil mendelik.


“Secara estetis, kebugilan manusia merupakan pengertian transendental dari hirarki manusia. Filosofis yang terkandung di dalamnya merupakan kebenaran mutlak dimana manusia itu sesungguhnya bukan siapa-siapa, bukan apa-apa!” timpal juru bicara kubu kepala tak kalah delik.


“Apa anda berani jamin kalau stimulasi seksual dari aura pornografi tidak akan membuat anda ‘berdiri’?”


“Hahaha…haha,” kali ini gelak tawa semakin menjadi-jadi. Juru bicara kubu ekor sudah mulai liar. Penonton semakin memadati pelataran dan balkon-balkon gedung. Sesak. Sejak gambar itu dipertontonkan.


“Disebut porno kalau tujuan utamanya sengaja menimbulkan birahi,” lanjut kubu ekor, “kalau birahi tidak timbul maka itu bukanlah sebuah pornotis, dan jelas saya tahu itu. Namun, perlu kita telaah lagi, penyebab tidak timbulnya birahi atau tidak adanya gejala ketegangan hormon ketika melihat objek pornotis. Sebenarnya ialah karena seseorang itu sudah kehilangan sensitifitas yang mungkin disebabkan karena sudah kebanyakan terkena serangan-serangan birahi alias keseringan nonton yang ‘begituan’,” katanya sambil memainkan dua jari di samping kepala, isyarat kutipan, “lagi pula siapa yang bisa mengukur birahi itu dan siapa yang mau mengakui kalau dirinya sedang ‘naik’?!” ketusnya lagi mengulangi tanda kutipan, “pokoknya agama bisa mengkepalai seni tetapi seni tidak bisa dan tidak boleh mengkepalai agama. Titik!”


Sang Hakam terdiam, begitu pun penonton. Mereka tampaknya tengah mengecek diri dan introspeksi. Gedung menghening.


Tiba-tiba seseorang dengan kaos oblong berlapis jaket kulit menaiki panggung. Sebelum berbicara, ia mendehem.


“Ehm hem!”


Semua mata menancap ke arahnya.


“Saya mau mendehem, mau bersin, mau mabok, mau berak, mau kencing, itu terserah saya,” katanya datar tanpa intonasi menyerang, “yang ingin saya lakukan adalah apa yang jiwa saya suruh. Saya ini budak dari jiwa saya sendiri. Saya ini pesuruh yang rajin menuruti batin. Saya ini manusia terkutuk!!!” ricuhnya.


Suasana makin hening. Para kubu sayap kanan belum berani berasumsi sementara dari kubu kiri sendiri seperti diambang awan. Jiwa mereka sendiri menggapai-gapai kemenangan. Kemenangan sendiri, kemerdekaan sendiri. Dan pak Hakam, ia pergi digusur terompet dan gendang yang terus memekakan telinganya. Ia pergi ketika kaum kepala mengambil tempatnya lalu berdakwah melalui bunyi bahasa.


“Ibumu, ibumu. Ibuku, ibuku! Jangan setubuhi ibuku karena aku tidak menyetubuhi ibumu!” kata mereka.


Penonton kembali riuh, berdialog dengan teman-teman melontarkan kebingungan. Mereka sudah banyak menyimak perseteruan tanpa ada solusi apa-apa. Sebagian mulai melempar bungkusan-bungkusan plastik dan rokok ke arah pak Hakam, sebagian lagi menungging-nunggingkan bokongnya ke manusia-manusia panggung di depan.


Salah satu penonton dari barisan belakang berteriak, “lalu bagaimana keputusannya pak Hakam? Apa mesti status quo lagi?”


“Tenang tenang, saudara-saudaraku sekalian!” kata pak Hakam.


“Jadi, itu seni atau pornografi pak?”


“Itu seni!” tancap kubu kepala memotong pak Hakam.


“Iya seni, seni pornografi?” timpal kubu ekor menyinggung.


“Jadi apa itu apa pak Hakam?” desak beberapa penonton yang sudah tidak sabar ingin mengakhiri acara.


Pak Hakam semakin bingung, terjepit dalam waktu yang semakin tipis dan suasana yang tak kondusif lagi. Sementara penonton kian gencar mengumandangkan pertanyaan-pertanyaan.


“Saya akan susun ulang amandemennya. Sementara ini pakai saja otoritas kalian masing-masing dulu,” katanya.


“Tapi pak Hakam,” protes mereka.


Pak Hakam langsung memukul palu. Gaungnya menghentikan semua kericuhan. Tak ada lagi pengadilan. Tak ada lagi pertanyaan. Semua kembali ke individu masing-masing, menjawab pertanyaan masing-masing. Tanpa noktah apa-apa, ia kembali ke belakang panggung sambil menahan ingus kuning kental yang sedari tadi hendak meleleh dari lubang hidungnya. Sial!



Tidak ada komentar: