DAHLIA RASYAD

DAHLIA RASYAD

Selasa, 09 September 2008

Cerpen



H A K A M I N G U SA N




SUASANA di dalam gedung redup. Tiga mikrofon yang menggantung di langit-langit panggung hidup. Di tengah-tengah panggung itu berdiri seorang laki-laki dengan setelan kaos oblong dan celana jeans biru. Ia disebut-sebut pak Hakam, orang yang tidak biasa berada di sayap kiri atau kanan. Lampu tembak mengarah padanya, ia terlihat sibuk memperbaiki peci dan membetulkan lintingan kumis bauknya yang nyaris menancap ke lubang hidung. Lalu ia mengeluarkan sebuah sapu tangan yang sudah lembab, mengelap-elap leleran ingus yang terus hendak keluar dan, “Srottttt! Srotttt!” gumpalan ingus kental keluar dari lubang hidungnya yang sebesar mulut gua itu. Penonton risih, lelah menunggu.


“Saudara-saudara, apakah kalian sudah makan siang?” kata pak Hakam membuka acara.


“Belummm!!” jawab penonton.


“Kalau begitu kita semuanya lapar dan bersiap-siap kelaparan karena acara ini dijadwalkan dari jam 1 sampai dengan selesai,” katanya.


Semua penonton tak bergeming lalu duduk dengan pose masing-masing.


“Marilah kita mulai acara dengan melempar koinnya, bagaimana, adil?” tawarnya.


“Adilll!!!” teriak penonton.


“Gambar kepala untuk pihak di sebelah kiri saya dan gambar ekor untuk pihak di sebelah kanan saya.”


Dengan satu lemparan dan,


“Kepala!”


Pihak yang tersebut, mengangguk, pertanda pihak ekor harus menunggu.


“Demi hidupnya kesenian dan demi kehidupan seniman, saya, tanpa adanya agitasi dan intervensi apapun, murni menentang pendirian negara diatas negara hanya dengan kekuatan agama. Sebagai landasan humanisme yang universal, saya berani menyebutkan bahwa seni memiliki ruang sendiri tanpa harus dicampuri dengan doktrin-doktrin apapun yang mampu mengancam keberadaannya,” kata si juru bicara kepala mendahului, “bagaimana pak Hakam, apa anda punya komentar?” lanjutnya dengan atribut janggut yang berserabut.


Sang Hakam yang ditanya mulai mencerna, memasang posisi di tengah lalu bersendawa sebelum akhirnya melontar kata, “seni bagi saya, adalah suatu urusan ruh dan jiwa sebagaimana agama juga urusan ruh dan jiwa. Dua blok ini sama-sama diluar urusan dunia, diluar urusan badaniah.”


Tiba-tiba yang sedari tadi menunggu giliran, langsung menyela, “tetapi seni bukanlah agama yang didalamnya terdapat aturan-aturan yang murni, yang bukan didasari oleh tradisi, tidak mampu diombang-ambing budaya apapun, hidup disepanjang peradaban, dan punya sanksi hukum yang jelas. Sedangkan seni itu no rules! Jadi agama tidak bersifat imajis meski kedudukannya berada secara psykis. Lagipula seni punya sebuah paradigma pada urusan dunia dengan adanya politisi-politisi elite kesenian maupun elite kebudayaan, sedangkan agama sama sekali tidak ada tendensi ke arah sana,” tangkisnya.


“Interupsi!” cegat juru bicara kepala. Penonton terkesima.


“Tapi agama menghidupkan seni! Toh saya menegakan agama diluar konteks seni. Saya punya keyakinan yang hanyalah Tuhan yang tahu sebesar apa keyakinan saya. Sedangkan keyakinan saya atas seni, itu hanyalah manusia yang tahu sebesar apa,” katanya, “anda seolah-olah ingin mengklaim bahwa seni adalah tolak ukur iman seseorang. Ini adalah sebuah jebakan! Itulah yang sesungguhnya sebuah politisi!” kerasnya.


Ruangan gaduh. Para penonton yang sedari tadi seperti angin mati tiba-tiba seperti angin ribut. Disusul pula dengan dentuman bedug yang bertalu-talu. Kubu barisan ekor yang berada di sebelah kanan sang Hakam mulai kepanasan. Sedang kubu yang berada di baris kiri, terlihat sedang komat-kamit membacakan mantra penghilang kegugupan alias mabok. Lalu sang Hakam sibuk menenangkan suasana sambil mengelap gumpalan ingus yang tak mau lagi mendekam di lubang hidungnya.


“Tenang saudara-saudara, kita harus mempelajari objek permasalahannya dulu sebelum kita memberi kesimpulan yang sepihak. Bagi saya, seks itu semacam oposisi eksistensial yang memiliki validitas dan truth. Sama halnya dengan agama yang juga memiliki validitas mutlak dan truth yang murni!”


Penonton yang diajak diam, betul-betul terdiam.


“Oposisi yang bagaimana maksud pak Hakam?” tanya kedua kubu yang bertikai, bersamaan.


“Posisi dimana mengambil sebagian masing-masing wilayah dari sirkel seni dan sirkel agama. Kita tidak bisa sepenuhnya menolak seks tetapi juga bukan berarti harus mengagungkan seks diatas segala-galanya!”


“Lalu validitas dan truth untuk kepentingan siapa pak Hakam?” tanya kubu ekor.


“Untuk siapa saja. Bukankah anda punya anak?” tandasnya. Juru bicara ekor terdiam.


“Artinya seksualitas itu humanis,” kata pak Hakam.


Lalu pihak kepala langsung menyela, “seperti yang saya katakan tadi, seni merupakan humanisme universal yang umat manapun baik kafir maupun agamawan berhak memilikinya.”


“Anda memperisaikan humanisme untuk mengabsahkan unsur sundal dalam pornografi. Pandangan anda sendiri sudah tidak universal!” tolak kubu barisan ekor.


“Yang penting seksual adalah humanisme mutlak yang anda sendiri mungkin gigih menikmatinya,” tancap si janggut sekenanya.


“Hahaha…haha,” sontak penonton terbahak-bahak. Suasana riuh. Pak Hakam tak sempat bicara lagi. Kedua kubu melewatinya begitu saja.


“Dalam kasus seksualitas, manusia tidak boleh semata menjunjung humanisme. Dalam artian, harus ada sebuah dehumanisasi yang mengendalikan kepurbaan umat manusia, mengingat kepurbaan itu sendiri tidak geogratif dan begitu strategis,” tampiknya.


Tawa penonton kembali meledak, kali ini pertahanan bagi kubu ekor. Seisi ruangan terpicu dengan berbagai paradigma alasan, dalih, dan alibi untuk menangkis hujatan.


Lalu si ekor melanjutkan uraiannya, “tugas manusia itu bukan hanya menjaga sisi manusiawi tetapi juga mengendalikan kemanusiawian itu sendiri. Dan itu berarti anda secara tak sadar sudah melakukan resistensi terhadap perkembangan peradaban.”


“Termasuk budaya premanisme agamis?” tampik juru bicara kubu kepala.


“Itu sebuah aksi unjuk ketidaksetujuan ketika nilai-nilai moral sudah dikikis oleh unsur-unsur kapitalisme ekonomi, bukan gerakan non mission yang tidak berfundamen sama sekali.”


“Anda bermaksud mengklaim bahwa itu jihad, tetapi tendensinya ke rumus perusakan dan kerugian. Semua orang bisa melihat kalau itu sebuah tiran sosial yang dilakukan oleh elite agama. Anda sudah menggunakan dalih agama untuk mengabsahkan fanatisme anarkis. Kecenderungan anarkisme seperti itu sudah menyalahi konstitusi. Secara otomatis kalian sama dengan ingin mendirikan negara sendiri,” bela kepala lagi.


“Hujatan anda dimainkan oleh analogi prasangka yang menjorok ke fitnah! Kami hanya minta diperkecil, jangan sampai unsur seni menjorok kearah kemaksiatan yang kemudian ke kemiskinan iman. Bangsa kita tidak hanya dicokoli oleh kaum elite kesenian, bukan?”


“Tetapi kebebasan berekpresi di atas negara ini berlaku di negara manapun. Dan itu merupakan suatu fundalisme kesenian yang utuh. Hak Azasi Manusia yang utuh!”


“Liberalisme berkesenian seperti itu sudah dikontaminasi oleh budaya Barat sehingga mereka menjadi kehilangan sensibilitas terhadap diri maupun agamanya. Sebenarnya yang menjadi produk seni Barat bukanlah objeknya tetapi subjeknya sendiri, dalam artian si agent dan actor-lah yang merupakan produk itu sedangkan pornografi sendiri hanyalah konsep pengemasannya belaka!” ketusnya.


“Saya jadi tidak percaya masa depan generasi muda di tangan para seniman!” tambahnya.


“Huhhhh!” seru penonton. Mereka merasakan alternan ego juru bicara dari kubu ekor.


Sang Hakam kembali mengendurkan ketegangan di ruang itu. Menggerak-gerakkan kedua tangannya ke atas seperti sedang mencegah angkutan publik melintas di jalur kereta api.


“Tenang bapak-bapak yang saya hormati. Sebelumnya kita harus membahas terlebih dahulu apa itu seni dan apa itu pornografi. Bagaimana, setuju?”


“Setuju!!!” teriak para sukawan yang sedari tadi menyimak.


Pak Hakam tiba-tiba bersendawa dan kembali mengelap lelehan ingus yang sudah mencair dingin. Lalu tiba-tiba pula dari belakang tirai ruang muncul sebuah poster berukuran raksasa dengan gambar yang sangat oriental dan original alias asli buka-bukaan. Sebuah photo klasik dua pasang insan yang dibingkai dengan ukiran jepara pada zaman neo kolonialisme, digiring memutar bergantian oleh konco-konco beraliran kepala, berjalan seperti sesi pergantian rounde tinju kelas bulu.


Semua penonton dan kubu ekor tak bergeming di buat phenomena itu. Sekadar ingin menunjukan kepastian seni atau memang ‘suka’ memanjakan mata. Entahlah. Sedang si juru bicara kubu ekor langsung memejamkan matanya dengan kedua tangan.


“Maaf apakah ini yang disebut seni? Kenapa tidak manusia benerannya saja yang beraksi di panggung ini. Biar kita tahu seni benerannya?”


Sang Hakam bersendawa lagi lalu mendekatkan mulutnya ke telinga si kubu ekor dan berbisik, “modelnya minta pengaturan MoU terlebih dahulu.”


Si pihak ekor beserta kubunya tersenyum tipis. Dan suasana pun menjadi setengah bising. Sinyal kemenangan atas kejujuran fakta.


“Suruh salah satu seniman saja yang beraksi,” tukasnya.


Pak Hakam menyeringai sembari melihat-lihat penonton sayap kiri.


“Seni yang mengandung aura pornografi sama sekali bukan dihasilkan dari kecerdasan intelektual dan spiritual tetapi hanya dorongan emosional belaka,” lanjut kubu ekor.


“Penciptaan karya seni memiliki sistem kapitalisme sendiri yang melepaskan diri dari keduniawian dan finansial. Kapitalisme seni untuk urusan pornografi merupakan bagian perenungan terhadap ciptaan Tuhan,” tampik kubu kepala.


“Lalu bagaimana dengan ciptaan-Nya yang lain? Secara sosial dan moral, itu justru merupakan upaya mensejajarkan Tuhan dengan kelamin. Sistem kapitalisme seni yang mencoba mencari popularitas dan eksistensi sambil beronani!” hujat kepala kubu ekor sambil mendelik.


“Secara estetis, kebugilan manusia merupakan pengertian transendental dari hirarki manusia. Filosofis yang terkandung di dalamnya merupakan kebenaran mutlak dimana manusia itu sesungguhnya bukan siapa-siapa, bukan apa-apa!” timpal juru bicara kubu kepala tak kalah delik.


“Apa anda berani jamin kalau stimulasi seksual dari aura pornografi tidak akan membuat anda ‘berdiri’?”


“Hahaha…haha,” kali ini gelak tawa semakin menjadi-jadi. Juru bicara kubu ekor sudah mulai liar. Penonton semakin memadati pelataran dan balkon-balkon gedung. Sesak. Sejak gambar itu dipertontonkan.


“Disebut porno kalau tujuan utamanya sengaja menimbulkan birahi,” lanjut kubu ekor, “kalau birahi tidak timbul maka itu bukanlah sebuah pornotis, dan jelas saya tahu itu. Namun, perlu kita telaah lagi, penyebab tidak timbulnya birahi atau tidak adanya gejala ketegangan hormon ketika melihat objek pornotis. Sebenarnya ialah karena seseorang itu sudah kehilangan sensitifitas yang mungkin disebabkan karena sudah kebanyakan terkena serangan-serangan birahi alias keseringan nonton yang ‘begituan’,” katanya sambil memainkan dua jari di samping kepala, isyarat kutipan, “lagi pula siapa yang bisa mengukur birahi itu dan siapa yang mau mengakui kalau dirinya sedang ‘naik’?!” ketusnya lagi mengulangi tanda kutipan, “pokoknya agama bisa mengkepalai seni tetapi seni tidak bisa dan tidak boleh mengkepalai agama. Titik!”


Sang Hakam terdiam, begitu pun penonton. Mereka tampaknya tengah mengecek diri dan introspeksi. Gedung menghening.


Tiba-tiba seseorang dengan kaos oblong berlapis jaket kulit menaiki panggung. Sebelum berbicara, ia mendehem.


“Ehm hem!”


Semua mata menancap ke arahnya.


“Saya mau mendehem, mau bersin, mau mabok, mau berak, mau kencing, itu terserah saya,” katanya datar tanpa intonasi menyerang, “yang ingin saya lakukan adalah apa yang jiwa saya suruh. Saya ini budak dari jiwa saya sendiri. Saya ini pesuruh yang rajin menuruti batin. Saya ini manusia terkutuk!!!” ricuhnya.


Suasana makin hening. Para kubu sayap kanan belum berani berasumsi sementara dari kubu kiri sendiri seperti diambang awan. Jiwa mereka sendiri menggapai-gapai kemenangan. Kemenangan sendiri, kemerdekaan sendiri. Dan pak Hakam, ia pergi digusur terompet dan gendang yang terus memekakan telinganya. Ia pergi ketika kaum kepala mengambil tempatnya lalu berdakwah melalui bunyi bahasa.


“Ibumu, ibumu. Ibuku, ibuku! Jangan setubuhi ibuku karena aku tidak menyetubuhi ibumu!” kata mereka.


Penonton kembali riuh, berdialog dengan teman-teman melontarkan kebingungan. Mereka sudah banyak menyimak perseteruan tanpa ada solusi apa-apa. Sebagian mulai melempar bungkusan-bungkusan plastik dan rokok ke arah pak Hakam, sebagian lagi menungging-nunggingkan bokongnya ke manusia-manusia panggung di depan.


Salah satu penonton dari barisan belakang berteriak, “lalu bagaimana keputusannya pak Hakam? Apa mesti status quo lagi?”


“Tenang tenang, saudara-saudaraku sekalian!” kata pak Hakam.


“Jadi, itu seni atau pornografi pak?”


“Itu seni!” tancap kubu kepala memotong pak Hakam.


“Iya seni, seni pornografi?” timpal kubu ekor menyinggung.


“Jadi apa itu apa pak Hakam?” desak beberapa penonton yang sudah tidak sabar ingin mengakhiri acara.


Pak Hakam semakin bingung, terjepit dalam waktu yang semakin tipis dan suasana yang tak kondusif lagi. Sementara penonton kian gencar mengumandangkan pertanyaan-pertanyaan.


“Saya akan susun ulang amandemennya. Sementara ini pakai saja otoritas kalian masing-masing dulu,” katanya.


“Tapi pak Hakam,” protes mereka.


Pak Hakam langsung memukul palu. Gaungnya menghentikan semua kericuhan. Tak ada lagi pengadilan. Tak ada lagi pertanyaan. Semua kembali ke individu masing-masing, menjawab pertanyaan masing-masing. Tanpa noktah apa-apa, ia kembali ke belakang panggung sambil menahan ingus kuning kental yang sedari tadi hendak meleleh dari lubang hidungnya. Sial!



Kamis, 04 September 2008

Bedah Pustaka


Judul Novel : Buntung
Karya : Wijaya, T
Tebal : viii + 159 hlm; 14 x 21 cm
Penerbit : Pustaka Melayu
Tahun Terbit : 2007
Kota Terbit : Palembang


Buntung:

Ancaman Budaya Paternalistik dan Feodalistik


Karakter tokoh yang dibangun sangat ‘labil’, perilaku manusia tergambar sangat ‘buas’ dan amoral. Apakah ini merupakan kesimpulan penulis dari premis-premis realitas sosial dan sejarah terhadap budaya? Apakah ini yang hendak dikatakan penulis terhadap mental-mental pemimpin bangsa kita saat ini?


Novel T. Wijaya yang kedua Buntung setelah Juaro (Pustaka Melayu, 2005) merupakan novel Trilogi pertamanya yang mengambil realitas sosial kaum marjinal; pengemis, pengamen, preman, pelacur, pencopet, mucikari, bandar ganja, dan sebagainya. Novel yang menekankan phenomena watak budaya ini, sekilas mengabaikan unsur methaporis; pelukisan ditunjukan dari karakterisasi tokoh-tokoh (kebiasaan, adat-istiadat, perilaku, dan pandangan-pandangan hidup) melalui narasi yang cenderung memberikan informasi, semacam narasi investigasi yang sangat akrab di dunia pers. Namun sebenarnya realitas sosial dan karakterisasi tokoh-tokoh inilah yang menjadi metaphoris budaya dari sebagian besar masyarakat kita terkini, setidaknya bagi T.Wijaya.


Kerangka cerita yang dipaparkan T.Wijaya melalui gaya kronologi ini merupakan suatu bentuk dialektika moral dan budaya. Keberanian T.Wijaya dalam memprediksikan masa depan budaya Palembang merupakan hasil struktur kesepahaman akan kelemahan yang dimiliki sistem paternalistik; bagaimana seorang yang bermental bandit menjadi raja hanya karena latar belakang keturunan (tanpa campuran darah dari bangsa-bangsa lain), bagaimana budaya semacam itu membuahkan dendam kusumat leluhur yang mengorbankan anak cucu sebagai imbasnya, dan tatanan budaya/kebiasaan masyarakat yang sangat represif, dangkal, dan (menurut penulis) irasional.


Jika Juaro merupakan metapor dari pembodohan yang dilakukan pemerintah otoriter dalam membungkam pure demokrasi dan Hak Azasi, yang jelas akan mengembalikan ingatan kita pada kekejaman rezim Orde Baru Soeharto, maka novel riset historis yang nyaris terlepas dari unsur imajis ini merupakan konflik sosial budaya (berlatar sejarah) yang berkepanjangan dan tak pernah selesai. Segala bentuk indoktrinasi, demistifikasi rasio, dan manifesto, merupakan cerminan rezim otoriter yang membelenggu rakyat sekaligus mewariskan isme tersebut kepada rakyat. Kemarahan T.Wijaya dalam mengaspirasikan pendapat dan rasa ‘tak terima’ atas perlakuan yang diberikan pemerintah atas rakyatnya (feodalisme) membentuk liberalisme berideologi dengan segala tindakan reformasinya. Dari liberalisme semacam itulah novel ini lahir sekaligus sebagai cara penulis ‘curhat’ atas kecemasan dan ketakutannya dalam menghadapi realitas budaya kelak yang mengacu pada masa depan negara secara de facto maupun de yure.


Pada “Kronologi Palembang” (hal 1-6), dua item terakhir yang tersurat menjadi sebuah kesimpulan dari semua phenomena yang ditawarkan T.Wijaya dalam novelnya, sekaligus mengajak pembaca terlibat secara ideologis (beserta aksiologis atau non aksiologis) memandang kerangka-kerangka rawan dalam sebuah sistem nasionalisme. Hal ini menggelitik daya analitik futuristik kita, dimana penulis meramalkan bagaimana nasib bangsa ini jika terus memegang cara pandang monumental dan lips-lips political yang terjadi di setiap rezim pemerintahan. Konsep berpikir kepaternalistikan tak ubahnya sebuah pandangan mistis yang mengambil dalih gnosis. Kerangka hirarki berpikir seperti ini muncul dalam masyarakat sisa feodal sebagai simbolisasi bagi kaum tertindas, terlepas dari angket-angket potensial dari seorang pemimpin itu sendiri, karena hanya semata dipandang dari perilaku visioner dan garis keturunannya. Bagi penulis, dalam situasi politik seperti sekarang ini, perilaku visioner hanyalah perilaku syntetik yang memanipulasi kacamata rakyat, sedangkan garis keturunan sama sekali bukan panduan dalam mempelajari psykis seorang khalifah. Bukankah telah banyak kondisi politik yang dikemas atas kepentingan kebenaran pribadi menjadi kebenaran umum? Gradual kebenaran dalam sistem paternalistik hanyalah suatu kebenaran sendiri (individu) yang menjadi kebenaran umum karena sudah memperoleh legitimasi dari masyarakat. Dan itu akan menjerumuskan masyarakat pada tatanan yang lebih luas, fatalnya, mengakibatkan bangsa semakin terperosok dalam kemelut permasalahan; kemiskinan, peperangan, dan kelemahan dalam kancah politik dunia. Namun upaya penulis merumuskan sebuah kehancuran negara atas kepaternalistikan itu sendiri menimbulkan pertanyaan yang bervalensi sama, apakah pemikirannya merupakan gradual kebenaran sendiri, gradual kebenaran umum, atau memang kebenaran yang benar, yang dilihat dari paradigma keilmuan maupun dogmatis?



Namun bagi sebagian pembaca, ini mungkin mampu dikaprahkan sebagai dongeng belaka; ketika apa yang diramalkan penulis terhadap masa depan Indonesia itu sama sekali tidak terbukti, juga ketika upaya penulis dalam tendensi tema menggunakan gaya adventural yang didominasi dalam cerita-cerita heroik yang penuh ilusi. Prediksi tentang hujan badai sendiri hanyalah ‘alat’ pelengkap kejadian yang ingin diungkapkan penulis selain bersifat “alami” (tidak mengganggu stabilitas nasional). Potongan terakhir dari kronologi palembang diatas nyaris sebuah tindakan penyelamatan terhadap fakta sejarah yang sebelumnya telah dideskripsikan atau bisa jadi sebagai aksi pembuktian akan asumsi sehingga menjadi alibi yang mendasar. Pensejajaran fakta konkret dengan fakta abstrak ini membuat apa yang sudah diramalkan penulis (fakta abstrak) menjadi sebuah kebenaran yang mampu dibuktikan. Sebaliknya, bisa jadi metode pengkisahan dengan kesimpulan-kesimpulan ini merupakan upaya dalam memfiktifkan cerita mengingat Buntung berlabel novel. Menurut hemat saya, penulis menyadari bahwa apa yang ditulisnya (item terakhir dalam kronologi Palembang) merupakan karangan belaka, dalam upaya membuat corong masuk ke tema cerita atau apa yang sebenarnya ingin penulis sampaikan dari pemikiran-pemikirannya.


Dalam “Pengakuan Saya” (hal 9-13), tampak penulis berada pada oposisi ganjil masyarakat yang diawali dari gradasi pola pemikiran yang begitu julang diferensial dalam kekolektivitasan masyarakat, sebagai hasil kekecewaan yang berbuntut ke’kapok’an terhadap hal-hal yang berkembang secara sporadis di dalam tatanan masyarakat dalam bentuk behavior dehumanize yang bagi T.Wijaya merupakan paksaan, tekanan, bahkan pemborgolan atas ekspresi dan kreasi. Pandangan-pandangan atas pola kemasyarakatan semacam itu memberanikan T.Wijaya untuk mencap masyarakatnya sebagai masyarakat yang tidak rasional (dalam lingkup to do for living; konsep jalan pintas mencapai kemakmuran). Dan harta karun (peninggalan sejarah) menjadi sasaran yang paling tematis dan kritis untuk mendukung apa yang telah disimpulkan penulis atas akibat dari adanya paternalistik beserta feodalismenya (Baca Bab III Telapak Kaki Ikan Asin), sehingga secara analogis Sukma nyaris alter ego penulis yang dilekati jiwa modernis terhadap fundalisme bangsa dan negara yang berintegritas (sejarah, budaya, pemerintahan, konstitusi, dan rakyat) dengan dalil fakta sejarah etnis. Kerasisan pun mampu menjadi praduga ketika Sukma berhadapan dengan situasi real bangsa sebagai ‘keterjebakan’ penulis atas konsep budaya (paternalistik) dan kondisi masyarakat yang ‘irasional’ itu.


Konsep kerakyatan dan sosial yang ditekankan T.Wijaya dalam novelnya secara langsung mengaitkan kita pada stigma-stigma marxisme, proletar, atau marhaenisme yang kini dianggap haram karena tidak dipandang dari sudut transendental, sehingga setiap pembicaraan kerakyatan dan sosial dianggap sebagai kambinghitam aliran kiri (marxisme). Membicarakan kerakyatan (proletariat) dan sosial adalah hal yang umum (murni bertujuan untuk kesejahteraan rakyat) sedangkan membicarakan paham-paham tersebut merupakan hal yang spesifik (tujuan-tujuan individu yang memperalat konsep kerakyatan). Pertanyaannya, apakah novel yang disesaki dengan pandangan-pandangan sejarah dan budaya yang berorientasi pada kerakyatan dan sosial ini merupakan aksiologi dari hal yang spesifik itu? Apakah ini hanya anak dari induk semacam itu?


Leluhur Palembang diriwayatkan berasal dari Kerajaan Rau—India, diketemukan oleh Atung Bungsu (pelayaran II) yang beragama Hindu. Penduduk yang telah mendiami Fo-shih (Palembang) dan sekitar gunung Dempo adalah kaum Xinjiang (Tiongkok) yang meyakini Budha serta animismenya. Dari keyakinan Atung Bungsu, lahirlah Dapunta Hyang sebagai pendiri Kerajaan Sriwijaya yang lahir dari kaki gunung Dempo dan berprajuritkan suku (Besemah) yang hidup di sekitar gunung itu pula. Ia memilih Budha (mayoritas) untuk memperkuat kekuatannya (prajurit Tionghoa) kemudian memusnahkan Kerajaan Kanglia—satu-satunya kerajaan Hindu di gunung Dempo. Dendam antara Hindu (perompak Gagakata) dan Budha (Dapunta Hyang) pun tersurat hingga Segentar Bumi—keturunan kaum Gagakata yang dengan ilmu hitamnya mendikte Mahmud adalah turunan Kumara Sukma—adik bungsu Dapunta Hyang. Dalam kepemimpinan yang dimentali balas dendam di masanya ini merupakan phenomena ekstrim terhadap blok suku, agama, dan keturunan. Palembang pun oleh T.Wijaya diramalkan hancur akibat dendam leluhur yang dilakukan oleh salah satu cucu keturunan Raja yang dibuang karena berdarah campuran. Satu kecemasan pun menghantui ketika lahir seorang keturunan Raja yang berahlak bandit menguasai sebuah wilayah (negara). Kecemasan-kecemasan seperti itu menjadi kuat ketika di sepanjang pemerintahan tak ada satu pemimpin pun berhasil mengatasi permasalahan kerakyatan; kemiskinan, pengangguran, kesehatan, dan kesejahteraan, bahkan negara semakin didera hutang dan wajah politik semakin muram. Untuk menyelamatkan permasalahan rakyat itu, novel ini menawarkan seruan untuk perlu terlebih dahulu memperbaiki tatanan budaya yang selama ini membelenggu masyarakat sisa feodal seperti Indonesia sebelum membicarakan nasionalisme.


Terlebih ketika di zaman penjajahan Belanda, terjadi politik perpecahan ( sebagian keturunan melepaskan posisi di Kerajaan) yang kemudian menjadi konflik keluarga. Pecahan-pecahan itu memiliki falsafah hidup sendiri-sendiri; ada yang menganggap gelar kebangsaan bukanlah bukti kecerdasan dan kemuliaan dan ada pula yang justru dirundung konflik warisan dan permusuhan keluarga karena menganggap harta adalah kebahagiaan dan kehormatan. Tertanamnya akan definisi harta di sebagian pecahan ditujukan penulis pada sistem dan lingkungan pendidikan di sekolah milik Belanda beserta kolonialismenya. Menanamkan pemikiran pada anak-anak bumiputera untuk menjadi penjajah harta orangtuanya. Feodalisme ini menyebabkan pecahnya integritas Palembang (baik rakyatnya maupun wilayahnya) dimana harta menjadi ancaman dari dalam (perang saudara) dan dari luar (adanya konsekuensi sejarah atas hukum rampasan harta pada keadaan perang).


Penuangan perspektif dalam lakon Sukma sebagai keturunan terakhir dari Dapunta Hyang melukiskan bagaimana masyarakat memandang Sukma sebagai ‘manusia terpilih’ atas kecamuk problematika Indonesia. Sukma yang lahir dari orangtua (Mahmud dan Siti Aisyah) yang memiliki latar belakang suram, gelandangan, penuh dengan amoralisme, minim edukasi, dan dangkal pemikiran, diyakini memiliki kekuatan gaib tentang penglihatan akan harta peninggalan raja yang dipercayai terkubur berabad-abad lamanya. Disinilah petualangan yang penuh dengan nilai-nilai filosofis ditemukan. Harta karun (peninggalan sejarah) yang kemudian hendak dijadikan aset untuk melunasi hutang negara beserta angan-angan menjadikan bangsa kembali besar seperti zaman kerajaan dan Kesultanan dahulu, diprediksikan sebagai awal kemakmuran bangsa. Penjualan sejarah yang menjadi jalan pintas ini merupakan potret ‘bangkrut’nya bangsa yang disebabkan karena kemiskinan (baik mental kepemimpinan maupun properti kenegaraan). Dan novel ini berhasil ‘menyelamatkan aset sejarah’ dalam tendensinya merumuskan cerita, dimana tidak ada satu pemimpin pun dalam beberapa pergantian pemerintahan menemukan harta itu bahkan hanya menimbulkan konflik sosial dan politik yang semakin mencekam. Disinilah saatnya penulis berani menyatakan kehancuran Palembang, upaya-upaya diskriminasi, dan separatis terjadi pada beberapa ibukota Indonesia. Namun, Palembang kemudian berdiri kembali oleh Che Bala—seorang pengusaha bermental bandit beserta pelekatan pola kepemimpinannya seperti kisah epik Bhagawat Gita, dan politisi-politisi kudeta, sebagai upaya pembuktian bahwa masih berlangsungnya tatanan budaya semacam itu tanpa ada kata ‘selesai’.


Pada cuplikan terakhir “Telapak Kaki di Mulut Saya”, tokoh saya merupakan tokoh lain yang sama sekali tidak mengetahui apa-apa (lugu) tentang sejarah keturunan Raja. Tokoh saya ini bertindak sebagai garis keturunan Raja (pemimpin) yang diketemukan (oleh Che Bala) untuk mengulangi polemik Sukma kembali (membangun Indonesia dibawah pertumpahan darah sesama saudara, menghidupkan dendam, dan mengadakan gejala perang dunia), namun tokoh saya ini justru memilih ‘berlari’ sebagai usaha sadar akan mental kepemimpinannya.


Saya tidak butuh sebuah negara. Saya tidak butuh sebuah sejarah kekuasaan. Saya tidak butuh sebuah penghargaan. Saya hanya butuh masa lalu, buat memperbaiki kegagalan berkeluarga. Saya butuh sebuah keluarga di sebuah taman yang sejuk, dan wangi.” (Buntung, 151)


Dalil sejarah dan kepeloporan pemersatu bangsa yang berasal dari pandangan seorang bandit (Che Bala) mengabsahkan pilihan pemimpin atas dasar keturunan meski pemimpin yang dipilih ternyata juga bermental bandit. Begitulah seterusnya, tak ada yang selesai.